Meramal Datangnya Gempa


Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, thn 2010

Ketika terjadi gempa, pertanyaan yang mungkin ada di benak kita adalah dapatkah gempa itu diramalkan ibarat ramalan cuaca yang kerap kita tonton setiap hari di TV. Dapatkah diprediksi waktu terjadinya, di mana lokasinya dan seberapa besar magnitude kekuatannya. Peristiwa gempa paling mutakhir yakni gempa skala 7.2 SR di Sumatera Utara dan Aceh pada 7 April 2010 membuat seorang pembawa berita di sebuah TV nasional bertanya kepada staf Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tentang apakah gempa tersebut sudah diprediksi sebelumnya. Dan, memang benar adanya, sampai sejauh ini belum ada teknologi yang reliable dalam memprediksi datangnya gempa.

Sejak puluhan tahun lalu, penelitian telah banyak dilakukan dalam mengembangkan metode dan teknologi yang mampu memprediksi datangnya gempa. Satu hal yang menarik, telah dimuat dalam BBC Earth News, kira-kira seminggu lalu (31 Maret 2010) tentang kemampuan hewan (dalam hal ini katak) dalam mendeteksi gejala-gejala alam sebelum terjadinya gempa. Namun apakah ini kebetulan atau memang ada korelasinya, itu juga pertanyaan.

Rachel Grant, seorang Biologist dari Open University di Milton Keynes Inggris, telah mempublikasikan penelitian tentang reproduksi dan prilaku katak dalam the Journal of Zoology. Dari pengumpulan data yang dilakukan selama 29 hari sebelum dan sesudah gempa L`Aquilla di Italia (6 April 2009) diketahui bahwa katak-katak tersebut telah berprilaku aneh sebelum terjadinya gempa. Mereka meninggalkan area tempat mereka bertelur, yang kebetulan merupakan daerah epicenter gempa, pada tiga hari sebelum gempa terjadi. Dan kemudian mereka kembali pada sepuluh hari kemudian, waktu ketika gempa-gempa susulan sudah tidak terjadi lagi.

Menurut Rachel Grant, adalah tidak biasanya katak-katak tersebut meninggalkan tempat bertelur mereka. Kalaupun itu terjadi, hanya dalam tempo sehari, mereka akan kembali. Namun anehnya, sehari menjelang gempa, tidak ditemukan katak sama sekali di area tersebut.

Diperkirakan katak-katak ini telah mendeteksi gejala-gejala anomali alam yang terjadi menjelang gempa. Misalnya saja, perubahan yang tidak biasanya (disrupsi) pada elektromagnetik bumi dan mungkin perubahan kandungan gas radon di ionosfer, lapisan terluar atmosfer. Menurut seismologist, menjelang gempa, biasanya terjadi pelepasan gas dari lapisan batuan di pusat gempa ke atsmosfer. Perubahan inilah yang dideteksi oleh sensitifitas katak, dan juga binatang amfibi lainnya.

Kemampuan serupa juga dimiliki oleh hewan lainnya seperti ikan, ular, dan anjing. Kiyoshi Shimamura meneliti data bahwa sebelum terjadi gempa Kobe 2005, terdapat peningkatan komplain masyarakat akan anjing menyalak lebih banyak dari biasanya. Ternyata anjing-anjing di Kobe sudah mendeteksi gejala akan terjadinya gempa. National Geographic News yang terbit Nopember 2003, juga memuat hal sama. Data sejarah mengungkapkan bahwa beberapa hari sebelum gempa terjadi di Kota Helice Yunani Kuno pada 372 SM, tikus-tikus dan ular-ular telah pergi keluar meninggalkan kota.

Namun banyak juga yang skeptis dengan temuan ini. Mereka menganggap bahwa korelasi antara anomali perilaku hewan dan gempa masih bersifat kasus per kasus. Tidak dapat disimpulkan secara umum dan irreproducible (National Geographic, 2003). Hingga kini, belum banyak keterangan serupa yang didapatkan pada peristiwa gempa yang terjadi di daerah-daerah lainya.

Selain masalah anomali prilaku hewan menjelang gempa, beberapa ahli juga percaya bahwa gempa memiliki kaitannya dengan pasang surut laut yang terjadi. Ini didasarkan teori bahwa pasang surut berkaitan dengan posisi bulan, dan juga matahari terhadap bumi, yang dikenal dengan bulan penuh (purnama) dan bulan mati (awal bulan).

Posisi bulan terhadap bumi mempengaruhi gaya gravitasi bumi, khususnya gaya berat lempeng tektonik. Sejauh tegangan yang terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik masih dapat ditahan oleh gaya beratnya sendiri, maka gempa tidak akan terjadi. Namun ketika terjadi perubahan gaya berat akibat pengaruh gravitasi bumi, tegangan ini akhirnya terlepas. Pelepasan tegangan inilah yang menjadi gempa, sesuai teori elastic rebound (Rovicky, 2007). Analisa yang sama bahwa ada hubungan pasang surut laut dengan gempa, juga dikemukakan oleh Junzo Kasahara dalam ”Perspective Geophysics: Tides, Earthquakes, and Vulcanoes”, dimuat dalam Jurnal of Science, July 2002.

Berdasarkan teori ini, dapat dijelaskan mengapa beberapa peristiwa gempa besar terjadi pada saat purnama atau awal bulan. Jika kita mencoba mengkonversi waktu gempa dalam Gregorian ke lunar calender, maka memang ada gempa yang terjadi ketika bulan purnama. Salah satunya adalah Gempa dan Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang bertepatan pada 14 Dzulqaidah 1425 H. Yang lain, Gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006 yang bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1427 H.

Analisa yang sama juga dikemukakan di Cina dan Taiwan pada 20 kasus gempa yang dikaitkan dengan pasang/surut laut (Zhao et al, 2000). Namun validitas kesimpulan mereka masih belum dikonfirmasi karena hanya berdasar pada data yang terbatas (20 kasus gempa). Dan, ketika teori ini dicoba untuk diuji ke data yang besar, maka sulit untuk teruji kebenarannya (Glaser et al, 2003). Beberapa gempa di Indonesia juga terjadi bukan pada saat purnama/awal bulan. Misalnya saja, gempa Sumatera 7 April 2010 yang bertepatan tanggal 22 Rabiul Tsani 1431 H.

Peramalan yang lain, adalah berdasarkan pengamatan geofisika. Mulai dari pengamatan seismo-electromagnetik, pergerakan lempeng, perubahan kadar gas hidrogen dan radon, hingga pengamatan awan yang tidak biasa. Di Indonesia misalnya, pengamatan elektromagnetik bumi terus dilakukan di berbagai stasiun pengamatan misalnya di Kotatabang Sumatera Barat, Pelabuhanratu Jawa Barat, Kotabumi Lampung, Biak, Pare-Pare dan Manado. Di beberapa negara, penggunaan satelit bahkan telah dilakukan juga untuk memonitor elektromagnetik bumi. Sebagai contoh, Demeter Microsatellite, QuakeSat nanosatellite, dan the Esperia Project.

Satu kisah sukses peramalan gempa ternyata pernah terjadi Haicheng Cina pada 1975. Sehari sebelum gempa 7.3 SR terjadi, evakuasi masyarakat dilakukan. Keputusan yang diambil pemerintah Cina saat itu didasari dari hasil pengamatan perubahan level tanah dan muka air tanah dalam beberapa bulan. Selain itu, banyaknya laporan tentang perubahan aneh prilaku hewan, dan telah terjadi gempa-gempa kecil (tremor) yang meningkat. Alhasil, korban jiwa dapat ditekan seminim mungkin.

Namun keberhasilan ini tidak diikuti pada gempa berikutnya, juga di Cina, di Tangshan 1976 dengan 7.6 SR. Tidak ada dugaan terjadi gempa sehingga tidak dikeluarkan peringatan dan tindakan evakuasi. Akibatnya, ratusan ribu penduduk luka-luka dan tewas..

Ketidakberhasilan peramalan gempa juga pernah dialami USGS (Badan Survey Geologi Amerika Serikat). Ketika itu diramalkan bahwa akan terjadi gempa skala 6.0 di Parkfield California dalam kurun waktu antara 1985 hingga 1993. Ramalan ini berdasarkan penelitian oleh Allan Lindh, W.H. Bakun dan T.V McEvilly dari University of California di Barkeley. Namun apa yang terjadi, ramalan ini sama sekali tidak terbukti, hingga batas kadaluarsa ramalan tahun 2004.

Fenomena gempa adalah hal sangat rumit untuk diramalkan. Kompleksnya perilaku tektonik dari lempeng batuan, dan keterbatasan teori yang ada membuat peramalan gempa belum sampai pada tahap yang dihandalkan. Masih butuh waktu yang panjang untuk itu.

Akan tetapi, satu hal yang dapat digarisbawahi adalah, meskipun belum mampu menjawab dengan tepat kapan, dimana dan besarnya energy dari gempa yang terjadi, kemajuan peramalan gempa kini mampu memetakan pola spatial gempa dengan sangat jelas. Bahkan ramalan secara umum dan ”masih kasar” tentang peluang gempa dan kurun waktu kemungkinan terjadinya juga sudah dapat dilakukan (Ludwin, 2009).

Tentang meramal kapan gempa terjadi, Ruth Ludwin, seorang geofisikawan dari University of Washington Amerika Serikat, mengatakan bahwa hampir mustahil untuk memprediksi waktu yang tepat akan terjadinya gempa. Hal ini dikarenakan ketika cukup tegangan yang terbangun pada sebuah lempeng tektonik, maka patahan bumi pada lempeng tersebut menjadi tidak stabil. Mungkin ada atau tidak ada gempa kecil yang kemudian menjadi gempa besar. Kita mungkin bisa mendiagnosa dengan akurat tegangan yang terjadi, namun kapan terjadi gempa tidak akan dapat dipastikan.

Olenya itu, hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi potensi merusak dari gempa yang akan terjadi di masa mendatang. Dimulai dengan mengidentifikasi fasilitas gedung dan sarana prasarana yang rentan terhadap gempa, dan berupaya memperbaikinya. Selain itu, membangun masyarakat yang adaptif dengan gempa, melalui sosialisasi mitigasi bencana gempa termasuk prosedur evakuasi.

Posted in Catatan kecil dari kampus
One comment on “Meramal Datangnya Gempa
  1. […] Sehari Cemplong 5 PondasiMeramal Datangnya Gempa […]

Leave a comment

Disclaimer
Catatan di blog ini hanyalah pandangan personal, dan tidak mewakili kebijakan lembaga tempat saya bekerja dan meneliti. Didasari pada kegemaran pada masalah-masalah kebumian, maka saya mencoba menuliskan atau mendokumentasikannya. Sebab, menulis adalah cara mengorganisir informasi agar terbenam di alam pemahaman. Isi blog bisa direprodduksi sepanjang mencantumkan sumber sitasinya. Semoga bermanfaat... Terima kasih
Viewers
  • 48,692 hits

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 51 other subscribers
May 2012
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031